Bayangkan seorang anak Papua berusia 10 tahun bernama Kosmos. Setiap pagi, saat kabut masih menyelimuti lereng gunung, dia sudah harus meninggalkan rumah panggungnya. Dua jam perjalanan melintasi hutan lebat, menyeberangi sungai kecil dengan batu-batu licin, hanya untuk sampai ke sekolah yang atapnya sudah berkarat. Di ujung kampung yang lain, seorang ibu bernama Mama Yuliana bermimpi melihat anaknya bisa membaca dengan lancar, tapi tidak ada guru di kampungnya.
Cerita seperti ini masih menjadi kenyataan di banyak pelosok Papua, di mana mimpi untuk bersekolah terasa seperti menggapai bintang di langit.
Papua memang seperti surga kecil yang jatuh ke bumi—kaya alam dan budaya, tapi dalam hal pendidikan masih menghadapi jurang ketidaksetaraan yang dalam. Letak geografis dengan pegunungan, lembah, dan laut yang memisahkan banyak daerah membuat akses pendidikan formal tidak mudah. Banyak anak harus berjalan berjam-jam, bahkan menyeberangi sungai atau mendaki gunung, hanya untuk bersekolah. Ditambah lagi, ketersediaan guru yang berkualitas masih menjadi tantangan besar yang belum terpecahkan hingga kini.
Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki solusi untuk masalah ini sejak lebih dari seabad lalu. Konsep "sekolah rakyat" pertama kali diperkenalkan pada masa kolonial Belanda tahun 1907, ketika pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volkschool sebagai upaya menyebarkan pendidikan dengan biaya serendah-rendahnya. Meski tujuan awalnya untuk kepentingan kolonial, sistem ini terbukti efektif memberantas buta huruf dengan kurikulum sederhana: membaca, menulis, dan berhitung. Yang menarik, biaya pendidikan sangat terjangkau—hanya 10-15 sen per siswa, bahkan sering gratis total.
Ki Hajar Dewantara kemudian mengadopsi dan mengembangkan konsep ini dengan visi yang lebih mulia: pendidikan sebagai hak setiap anak bangsa, tidak peduli mereka anak orang kaya atau miskin, tinggal di kota atau pelosok. Dari filosofi inilah lahir sekolah rakyat versi Indonesia tempat belajar yang merangkul semua lapisan masyarakat, terutama yang terlupakan dalam hiruk-pikuk pembangunan. Konsep ini kemudian menjadi cikal bakal sistem Sekolah Dasar modern yang kita kenal hari ini.
Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, mimpi tua itu bangkit kembali dengan semangat baru. Sejak Maret 2025, Presiden langsung mengamanatkan program Sekolah Rakyat dengan fokus memuliakan warga kurang mampu melalui pendidikan yang layak dan berasrama. Sebagaimana disampaikan Sekjen Kemensos Robben Rico dalam forum IGID Menyapa di Surabaya, ini bukan sekadar program biasa, melainkan "janji negara kepada anak-anak yang selama ini hampir tidak tersentuh kesempatan belajar." Inisiatif ini menunjukkan komitmen serius pemerintah untuk menuntaskan ketimpangan pendidikan di daerah terpencil.
Kabar baiknya, Papua sudah mulai bersiap menyambut era baru pendidikan ini. Balai Besar Kemensos Regional VI Papua-Maluku melaporkan tiga kabupaten Jayapura, Biak Numfor, dan Sarmi sudah memenuhi syarat pembangunan Sekolah Rakyat karena lahan pembangunan sudah bersertifikat. Kepala BBPPKS Jayapura, John H Mampioper, bahkan sudah mencanangkan bahwa gedung Sekolah Rakyat pertama akan mulai dibangun di Kota Jayapura pada tahun 2026. Langkah konkret ini membuka harapan besar bagi ribuan anak Papua yang selama ini kesulitan mengakses pendidikan berkualitas.
Namun, membangun gedung saja tidak cukup. Pertanyaan besarnya adalah: bagaimana agar Sekolah Rakyat di Papua tidak sekadar menjadi replika masa lalu, melainkan model pendidikan abad ke-21 yang mampu menjawab tantangan masa kini dan masa depan? Jawabannya terletak pada kemampuan menggabungkan filosofi dasar sekolah rakyat—demokratisasi pendidikan yang terjangkau, berpihak pada yang terpinggirkan—dengan inovasi teknologi dan pendekatan pembelajaran modern yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Sekolah Rakyat di Papua harus dirancang sebagai ruang belajar berbasis komunitas yang menghormati kearifan lokal. Masyarakat Papua memiliki tradisi kolektivitas yang sangat kuat, sehingga pendidikan tidak boleh dipaksakan dari luar sebagai sesuatu yang asing, melainkan harus tumbuh dari dalam dengan melibatkan aktif tokoh adat, orang tua, dan pemuda setempat dalam proses perencanaan hingga implementasi. Ketika sekolah rakyat benar-benar menjadi milik bersama komunitas, maka keberlangsungannya akan jauh lebih terjamin karena mendapat dukungan penuh dari masyarakat.
Fleksibilitas harus menjadi DNA utama Sekolah Rakyat Papua. Jadwal belajar perlu disesuaikan dengan siklus kegiatan masyarakat lokal—misalnya musim panen atau upacara adat. Materi pelajaran harus mengintegrasikan kearifan lokal Papua sebagai jembatan menuju pengetahuan universal. Bahasa daerah dapat dijadikan medium pengantar awal sebelum secara bertahap memperkuat literasi bahasa Indonesia. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan terasa lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari dan mampu membangun rasa percaya diri anak-anak Papua terhadap identitas budaya mereka.
Di sisi lain, Sekolah Rakyat abad ke-21 tidak boleh mengabaikan kebutuhan keterampilan global yang diperlukan dalam era digital. Anak-anak Papua harus dibekali dengan literasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan keterampilan yang memungkinkan mereka berpartisipasi aktif dalam dunia yang semakin terhubung. Meski dengan fasilitas sederhana, sekolah rakyat bisa memanfaatkan teknologi sesuai konteks lokal—seperti menggunakan perangkat dengan konten pembelajaran offline, atau membangun jejaring dengan pengajar jarak jauh yang dapat mendukung dan memberdayakan guru lokal.
Bayangkan anak-anak Papua duduk di ruang kelas yang dindingnya dihiasi ukiran tradisional yang menceritakan sejarah leluhur mereka, sementara di hadapan mereka tablet menampilkan video pembelajaran dari guru-guru terbaik Indonesia. Mereka bisa mempelajari ilmu biologi melalui eksplorasi langsung terhadap kekayaan flora fauna hutan Papua, belajar matematika dari praktik pembagian hasil panen sagu, atau mengembangkan aplikasi sederhana untuk mendokumentasikan dan melestarikan bahasa daerah yang hampir punah. Inilah wujud harmoni antara teknologi modern dan tradisi kuno yang bisa diwujudkan.
Tentu saja, mewujudkan visi mulia ini tidaklah mudah. Ada sejumlah tantangan besar yang harus diantisipasi dan diatasi secara sistematis. Pertama, soal kualitas pendidikan. Sekolah alternatif sering dipandang sebelah mata karena dianggap tidak memiliki standar yang setara dengan pendidikan formal mainstream. Jika stigma ini terus berlanjut, Sekolah Rakyat hanya akan menjadi "jalan pintas" yang justru memperlebar jurang ketidaksetaraan pendidikan. Pemerintah harus memastikan bahwa kurikulum, kualitas tenaga pengajar, dan sistem evaluasi di Sekolah Rakyat tetap memenuhi standar minimum nasional tanpa mengabaikan fleksibilitas dan kekhasan lokal.
Kedua, masalah pengakuan formal yang sangat krusial bagi masa depan siswa. Anak-anak Papua yang menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat tetap memiliki hak penuh untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja formal. Untuk itu, perlu dikembangkan sistem sertifikasi dan pengakuan yang jelas dan tegas, agar ijazah dari pendidikan alternatif ini diakui secara resmi dan tidak menghambat cita-cita masa depan mereka. Tanpa pengakuan formal yang setara, program ini berisiko menciptakan diskriminasi baru dalam sistem pendidikan nasional.
Ketiga, tantangan sumber daya yang tidak boleh dianggap remeh. Pembangunan gedung sekolah hanyalah langkah awal yang paling mudah. Yang jauh lebih sulit dan menantang adalah memastikan ketersediaan guru-guru yang tidak hanya terlatih secara akademis, tetapi juga memahami konteks budaya Papua, materi pembelajaran yang relevan dengan kehidupan lokal namun tetap memenuhi standar nasional, serta fasilitas dasar seperti listrik, air bersih, dan koneksi internet yang mendukung proses pembelajaran modern. Tanpa fondasi sumber daya yang memadai, Sekolah Rakyat berisiko menjadi bangunan kosong yang kehilangan makna dan tujuan.
Keempat, tantangan keberlanjutan program yang sering menjadi batu sandungan berbagai inisiatif pendidikan. Banyak program pendidikan yang berhenti di tengah jalan ketika dukungan politik melemah atau ketika pergantian kepemimpinan terjadi. Agar Sekolah Rakyat di Papua benar-benar dapat bertahan dan berkembang dalam jangka panjang, program ini harus ditopang oleh komitmen yang konsisten dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat lokal, dan mitra swasta. Diperlukan political will yang kuat dan mekanisme pemantauan yang ketat untuk memastikan program tetap berjalan sesuai visi awal.
Jika semua tantangan tersebut dapat diantisipasi dan diatasi dengan baik, Sekolah Rakyat di Papua berpotensi besar menjadi model pendidikan abad ke-21 yang unik dan inspiratif. Program ini tidak hanya akan menutup jurang akses pendidikan yang selama ini menganga lebar, tetapi juga akan menjadi jembatan yang menghubungkan kekayaan masa lalu dengan tuntutan masa depan. Di satu sisi, Sekolah Rakyat akan menghidupkan kembali semangat egaliter yang pernah menjadi pilar awal berdirinya republik ini. Di sisi lain, program ini akan menjawab kebutuhan keterampilan baru era digital sambil memperkuat akar identitas budaya lokal.
Lebih dari sekadar program pendidikan, Sekolah Rakyat Papua juga berpotensi menjadi simbol keadilan sosial yang bermakna. Selama ini, Papua sering kali dipandang hanya dari perspektif kekayaan alamnya yang melimpah atau konflik sosial-politiknya yang kompleks dan berkepanjangan. Sangat jarang Papua menjadi pusat perhatian positif dalam konteks inovasi pendidikan atau kemajuan sosial. Jika Sekolah Rakyat dapat berhasil di tanah Papua, maka pesan yang terpancar bukan hanya tentang keberhasilan sebuah program pemerintah, melainkan tentang pengakuan fundamental bahwa anak-anak Papua memiliki hak yang sama untuk bermimpi, belajar, dan meraih prestasi terbaik seperti anak-anak Indonesia lainnya di manapun mereka berada.
Pada akhirnya, pembangunan Sekolah Rakyat di Papua bukan sekadar tentang mendirikan gedung sekolah atau menyelenggarakan kelas-kelas reguler. Ini adalah tentang menghidupkan kembali sebuah cita-cita besar bangsa: bahwa pendidikan berkualitas adalah fondasi kemerdekaan yang sejati dan bermartabat. Seperti yang terjadi pada tahun 1907 ketika Volkschool pertama mulai memberantas buta huruf, dan kemudian pada 1945 ketika sekolah rakyat menjadi simbol tekad bangsa untuk bangkit dari penjajahan, hari ini di Papua sekolah rakyat dapat menjadi simbol konkret tekad bangsa untuk menutup jurang kesenjangan pendidikan yang masih menganga lebar.
Meskipun kita mungkin tidak akan melihat hasil yang spektakuler secara instan, pendidikan adalah investasi jangka panjang yang membutuhkan kesabaran dan komitmen lintas generasi. Dengan tekad yang bulat, perencanaan yang matang, dan pelaksanaan yang konsisten, Sekolah Rakyat abad ke-21 di Papua dapat melahirkan generasi baru yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga tangguh secara budaya, terbuka terhadap perkembangan teknologi global, dan penuh percaya diri dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan. Inilah warisan terbaik yang dapat kita berikan untuk Papua dan Indonesia.
Desy Anita Karolina Sembiring
*Penulis adalah Dosen Manajemen Pendidikan yang Saat ini Menempuh S3 Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Malang