Left Sidebar
Left Sidebar
Featured News
Right Sidebar
Right Sidebar

Foto :

Menyulam Demokrasi Papua: PSU Antara Luka dan Harapan

Oleh: TONI V. MANDAWIRI WANGGAI* 

DI SETIAP bilik suara, terselip harapan. Di setiap jari bertinta ungu, mengalir mimpi tentang perubahan.

Pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah (Pilkada), adalah kidung besar demokrasi, tempat rakyat mengangkat suara dan menumbuhkan harap. Pilkada langsung menjadi mahkota reformasi, membawa keyakinan bahwa kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat.

Namun di balik keindahan itu, demokrasi kita menyimpan luka.

Tingginya biaya politik, jual beli dukungan, pragmatisme pemilih, hingga pengerasan identitas berbasis agama menjadi bayang-bayang kelam di balik setiap kotak suara.

Demokrasi yang sejatinya lahir dari idealisme, perlahan tergelincir menjadi arena transaksional, memaksa kita bertanya: apakah demokrasi masih berarti seperti saat pertama ia diperjuangkan?

Anggaran Pilkada Papua: Harga yang Harus Dibayar

Sejatinya demokrasi adalah tentang kehendak rakyat, tetapi tak bisa dimungkiri bahwa demokrasi juga membutuhkan biaya.

Pilkada di Provinsi Papua tahun 2024 menganggarkan Rp280 miliar: Rp156 miliar untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Rp51,87 miliar untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Rp30 miliar untuk Kepolisian, dan Rp19,98 miliar untuk TNI.

Angka yang begitu mencengangkan.

Di negeri yang masih merangkak mengejar kemajuan di bidang pendidikan dan kesehatan, angka ini terasa seperti kemewahan di tengah kemiskinan.

Betapa dengan Rp280 miliar, berapa banyak sekolah bisa direnovasi? Berapa banyak puskesmas bisa dibangun? Berapa banyak guru dan tenaga medis bisa dilahirkan?

Dan tak hanya itu, drama baru pun datang: Pemilihan Suara Ulang (PSU) menambah beban anggaran hingga Rp189 miliar. Sebuah angka yang membebani, memaksa semua pihak mencari sumber dana tambahan di tengah keterbatasan fiskal yang ada.

Drama Pembiayaan PSU: Solusi di Persimpangan Jalan

Saat keputusan PSU dijatuhkan, drama pembiayaan pun bermula.

Pemerintah Provinsi Papua awalnya berharap bantuan dari pusat, namun pernyataan tegas dari Menteri Dalam Negeri mematahkan harapan itu: pelaksanaan PSU sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Maka dimulailah babak baru:

Pemerintah daerah mengusulkan penggunaan dana cadangan, namun DPR Papua (DPRP) menolak.

DPRP mengusulkan agar pemerintah daerah meminjam dana ke Bank Papua, namun pemerintah daerah enggan.

Kini, rakyat Papua hanya bisa menatap panggung, menanti aksi akrobat dari tim anggaran pemerintah daerah, sambil menggantungkan asa pada janji Pj Gubernur yang berkali-kali menegaskan: tidak akan ada penundaan PSU.

Dalam pertarungan tarik ulur itu, kita melihat betapa lemahnya fondasi perencanaan, betapa demokrasi seringkali disiapkan terburu-buru, tanpa skenario matang menghadapi krisis.

Saatnya semua pihak bercermin?

Bahwa demokrasi bukan hanya soal pemenang, tapi juga tentang kesiapan menjalankan prosesnya dengan bertanggung jawab.

Introspeksi: Etika, Moralitas, dan Harga Demokrasi

Di tengah kegaduhan ini, introspeksi menjadi keniscayaan.

Bahwa dana PSU sebesar Rp189 miliar bukan sekadar angka, bukan sekadar beban APBD. Itu adalah amanah besar, yang semestinya digunakan bukan hanya untuk melaksanakan pemilu, tetapi untuk menjaga marwah demokrasi itu sendiri.

Betapa memilukannya jika dana sebesar itu hanya menghasilkan sidang di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebuah pesta demokrasi yang seharusnya agung, berubah menjadi panggung pengadilan integritas.

Para peserta Pilkada harus menjaga etika dan moralitas berpolitik.

Agama jangan hanya menjadi alat kampanye, sekadar dipajang untuk merebut simpati. Agama harus menjadi ruh yang hidup dalam tutur kata, sikap, dan perilaku politik. Bila ruh itu benar-benar dihidupi, mungkin hari ini kita tidak akan mengenal istilah PSU di Papua.

Bagi penyelenggara Pilkada — para komisioner KPU dan Bawaslu — ingatlah, kalian telah bersumpah atas nama Tuhan untuk menjalankan amanah ini.

Jangan biarkan sumpah itu menjadi kosong.

Jadikan hukum, etika, dan moralitas sebagai garda terdepan, bukan sekadar pasal-pasal administratif yang kaku dan tanpa jiwa.

Pemerintah daerah pun perlu mengevaluasi kinerja ASN yang bertugas di lingkungan KPU dan Bawaslu. Mereka bukan sekadar pegawai birokrasi. Mereka adalah penjaga demokrasi, pengawal suara rakyat. Bila terdapat indikasi pembiaran, penyimpangan, atau keterlibatan, maka penyegaran struktural menjadi keharusan. Agar pelaksanaan PSU nanti tidak lagi menimbulkan luka baru.

Menjahit Luka, Menjemput Harapan

Kini, hiruk-pikuk pendanaan PSU harus dijadikan momentum. Momentum untuk memperbaiki niat, memperbaiki kerja, memperbaiki demokrasi yang terluka.

Momentum untuk membuktikan bahwa amanah Rp189 miliar benar-benar digunakan untuk menyuburkan demokrasi sejati — demokrasi yang kelak menumbuhkan kesejahteraan, bukan hanya melanggengkan kekuasaan.

Demokrasi Papua hari ini seperti kain yang robek di banyak sisi: ada yang terkoyak karena ambisi, ada yang berlubang karena kelalaian, ada yang retak karena keputusasaan. Namun, luka itu bukan alasan untuk menyerah. Luka itu justru panggilan untuk mulai menjahit ulang harapan yang tercerai-berai.

PSU yang akan datang, sesulit apa pun jalannya, harus menjadi laboratorium besar:

Tempat semua pihak belajar, berbenah, dan menguji sejauh mana mereka mau menebus kesalahan masa lalu.

Bagi KPU dan Bawaslu, PSU ini bukan hanya soal administratif; ini soal mengembalikan kehormatan.

Bagi peserta pilkada, ini bukan hanya soal merebut suara; ini soal membuktikan bahwa mereka pantas dipercaya.

Dan bagi rakyat Papua, ini adalah momen membuktikan bahwa suara mereka lebih kuat dari segala tipu muslihat.

Demokrasi sejati tidak lahir dari pesta yang mewah, melainkan dari kejujuran, keberanian, dan pengorbanan.

Dalam perjalanan PSU ini, mari kita ciptakan sejarah baru: bukan sejarah tentang kekecewaan, tapi tentang kebangkitan.

Karena demokrasi, pada akhirnya, bukan tentang siapa yang berkuasa. Demokrasi adalah tentang siapa yang tetap setia menjaga mimpi bersama, mimpi tentang tanah yang adil, damai, dan bermartabat.(*)

* Penulis adalah pemerhati masalah sosial politik di Papua 

Copyright © Semuwaberita.com | Redaksi | Disclaimer | Pedoman Media