Oleh:
Dr. H. Toni V. Mandawiri Wanggai, M.A.
"Suara yang tak kau dengar, kelak jadi senyap yang menelan takdirmu. Janji yang tak kau tulis, akan dilupakan oleh laut yang dulu menyambutmu".
Demokrasi bukan sekadar nama yang dicetak di atas surat suara. Ia adalah kehadiran rakyat, langkah kaki yang mengayun ke bilik suara, keyakinan lirih bahwa suara kecilku bisa menggoyang kursi kekuasaan.
Namun di Pilkada Papua 2024, gema itu terdengar semakin lirih. Dari 750.959 pemilih terdaftar, hanya 71 persen yang hadir. Sebanyak 542.747 suara sah terkumpul. Sisanya—lenyap entah ke mana. Mungkin karena kecewa, mungkin karena lelah, atau mungkin karena tak pernah merasa diajak bicara sebagai manusia, hanya dihitung sebagai angka.
Angka partisipasi ini bukan sekadar statistik di laporan evaluasi. Ia adalah cermin kepercayaan. Semakin banyak yang tak datang, semakin samar pula mandat yang diemban oleh mereka yang terpilih. Dan bila tren ini dibiarkan, ada kekhawatiran yang merayap pelan namun pasti: bahwa pada PSU 6 Agustus nanti, suara rakyat bisa benar-benar mengering. Tidak karena mereka tidak peduli, tapi karena tidak lagi percaya.
Bayangkan demokrasi berjalan tanpa rakyat yang hadir. Bayangkan pemimpin dilantik dalam ruang yang hanya penuh kursi kosong. Maka tugas calon dan tim kampanye bukan sekadar memenangkan pertarungan, tetapi menyulam kembali kepercayaan yang mulai koyak, memanggil rakyat bukan hanya sebagai pemilih—tetapi sebagai pemilik.
Saireri: Laut yang Luas, Tapi Tak Pernah Diselami
Di balik gugusan pulau yang tenang dan masyarakat yang bijak, terdapat sebuah wilayah yang sejatinya menyimpan kunci: Saireri, dengan 340 ribu jiwa pemilih. Angka ini bukan kecil—ia hampir menyamai setengah dari total DPT Papua. Tapi pertanyaannya: siapa yang sungguh-sungguh datang menyelami, bukan hanya menyapa dari pinggir dermaga?
Menjelang PSU 6 Agustus, kedua pasangan calon BTM - CK dan MDF – AR berbondong-bondong mendatangi wilayah ini. Ada sorak, ada arak-arakan, ada senyum dan jabat tangan. Tapi di balik semua itu, masyarakat bertanya dalam diam: "Apa yang kalian bawa, selain janji tanpa isi?"
Seireri bukan ruang kosong. Ia menyimpan potensi perikanan yang menjanjikan, pariwisata bahari yang memesona, kekayaan sumber daya alam yang melimpah, SDM yang haus kesempatan, dan ekowisata yang bisa jadi primadona. Namun para calon lebih banyak menari dalam seremoni, ketimbang menyiapkan peta jalan pembangunan yang nyata.
Pemilu Bukan Karnaval: Rakyat Menunggu Gagasan
Rakyat Papua, khususnya di Saireri, bukan anak kecil yang bisa dibujuk dengan hadiah kecil. Mereka adalah pemilik tanah ini, pewaris laut, penjaga gunung dan hutan. Mereka tidak mencari pemimpin yang pandai bergaya, tetapi pemimpin yang tahu ke mana membawa perahu bersama.
Sayangnya, hingga hari ini, belum satu pun calon benar-benar memaparkan visi konkret untuk Saireri. Tak ada rincian program tentang revitalisasi pelabuhan nelayan, tak ada tawaran serius tentang reformasi tata kelola hasil laut, tak ada komitmen terhadap pendidikan berbasis budaya lokal, dan tak ada gagasan besar tentang membangun pariwisata komunitas yang inklusif.
Ketiadaan program ini menciptakan jarak. Dan jarak dalam politik selalu menghasilkan apatisme. Maka, jangan heran bila partisipasi menurun, bila rakyat enggan datang ke bilik suara. Sebab yang mereka lihat hanya janji, bukan jalan.
Kontrak Politik: Agar Demokrasi Tak Lagi Sekadar Formalitas
Di tengah kemerosotan partisipasi dan kekosongan gagasan, ada satu harapan yang bisa dirajut: kontrak politik yang jujur dan terbuka. Bukan sekadar hitam di atas putih, tapi kesepakatan moral antara calon dan rakyat—yang memuat antara lain:
Komitmen terhadap pemberdayaan sektor perikanan dan ekowisata.
Rencana detail pembangunan infrastruktur terintegrasi di pulau-pulau.
Kebijakan pendidikan yang berpihak pada kearifan lokal dan keberlanjutan.
Penegakan HAM dan partisipasi politik masyarakat adat.
Perlindungan terhadap hutan adat dan wilayah laut tradisional dll
Kontrak ini perlu disusun bersama tokoh adat, gereja, perempuan, pemuda, dan akademisi. Lalu diumumkan secara terbuka melalui media massa, agar tak mudah diingkari dan bisa ditagih oleh rakyat.
Sebab hanya dengan cara itu, masyarakat Saireri akan merasa diikutsertakan, dihargai, dan punya alasan untuk hadir kembali ke TPS.
Penutup: Suara yang Tak Sekadar Dicari, Tapi Diperjuangkan
Demokrasi Papua bukan tentang siapa paling kaya baliho, siapa paling ramai rombongan. Tapi tentang siapa yang mengerti, menyiapkan, dan membuktikan bahwa suara rakyat bukan sekadar angka, tapi amanah.
Wilayah Saireri kini berdiri di persimpangan. Antara memilih percaya kembali, atau memilih diam dan menepi. Jangan biarkan mereka kecewa lagi. Jangan jadikan suara mereka sekadar bahan rebutan tanpa arah.
Saireri bukan sekadar basis suara. Ia adalah detak jantung Papua. Dan jantung itu hanya akan berdetak bagi pemimpin yang datang bukan sekadar untuk menang—tetapi untuk membangun.(*)
Credit Foto : 1. Antarafoto, 2 dok pribadi
*Penulis adalah: Pemerhati Sosial, Ketua BPH Universitas Sepuluh Nopember Jayapura-Papua